Wednesday 18 March 2009

BUKU BARU

Bab.1 Kelahiran

Sore yang cerah di tepi pantai sebuah pulau di ujung utara Nusantara, dan saat itu jam menunjukkan angka lima.
Tak seorang nelayanpun terlihat turun melaut, perahu-perahu bercadik terlihat berjejer rapi diatas pasir pantai. Ombak bergulung tinggi, seakan mau menelan apa saja yang ada di tepi pantai.

Nelayan menyebut musim ini musim paceklik. Musim yang menakutkan segenap penduduk pulau yang mata pencahariannya sebagian besar adalah menangkap ikan, karena selama musim itulah angin darat berbalik arah, ikan-ikan pun seolah sedang pergi ke dunia Antah Berantah, dan kalaupun dipaksakan melaut, maka dipastikan nelayan itu akan pulang dengan tangan hampa.
Musim yang berlangsung selama empat bulan lebih ini tak terjadi tiap tahun, Ia hanya mengikuti siklus perputaran angin yang tidak biasa, dan hanya terjadi setiap lima tahun sekali.
Angin tersebut bergerak dari sebelah barat daya Thailand, menuju tenggara Malaysia dan selatan Philipina kemudian berputar arah ke sebelah Utara Pulau Sulawesi, berbalik ke arah tenggara Kalimantan, menyusuri bagian atas Brunei Darussalam, Kuching dan Serawak Malaysia, lalu kembali ke sebuah pulau kecil di ujung Utara Pulau Sumatera dan di situlah seolah olah angin mengakhiri perjalanannya .
Nelayan sudah faham, bahwa Pulau tempat mereka tinggal sepertinya adalah tempat peristirahatan Dewa angin, yang menetap selama empat bulan dan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali lima tahun kemudian.
Sore itu matahari sudah mulai memerah, tak ada hujan yang turun ke Bumi, tak ada suara burung yang mengiringi kelopak bunga kelapa yang jatuh ke pasir pantai,

Di ujung semenanjung pulau terdapat sebuah gubuk kecil yang beratap nyiru, Sekeliling gubuk yang bagian depannya mengarah ke laut itu terlihat lengang, musim Paceklik kali ini angin darat yang biasanya bertiup sangat kencang, tak menampakkan diri.

Di dalam gubuk itu, terjadi peristiwa yang biasa di alami wanita yang telah di ujung masa kehamilan : Sebuah penantian proses kelahiran.
Meski tanpa dibantu ahli medis modern, namun sudah turun temurun dilakukan penduduk pulau ini, yaitu meminta pertolongan dukun beranak saja.
Adapun dukun beranak itu adalah seorang nenek tua renta yang berumur sembilan puluh tahun lebih, kulitnya bersih, berbadan sangat kurus namun kelihatan kuat, matanya menyorot tajam beralis putih tebal, giginya kecil berbaris rapi dan masih lengkap menghiasi senyumnya yang ramah.
Kelahiran itupun tiba.
Sang nenek dengan sigap dan tangkas menarik bayi yang keluar dari rahim ibunya dan kemudian menjepit tali pusar yang masih menjulur dari dalam perut Ibu si bayi kemudian menjepit sekali lagi tali pusar yang tersambung keperut si bayi lalu memotong antara kedua jepitan tersebut, serta mengikatnya dengan tali halus namun kuat yang terbuat dari akar pohon.
Meski semua anggota tubuh Sang bayi terlahir lengkap tanpa cacat namun tak ada sedikitpun teriak tangis yang terdengar, hanya sebuah senyum tersungging dari mulutnya yang mungil. Sebuah hal yang tidak biasa dan telah membuat ibu yang melahirkannya merasa khawatir melebihi rasa sakit yang dialaminya saat proses persalinan sedang berlangsung.

Setelah menarik ari ari dari dalam rahim membungkusnya dengan kain putih, membersihkan segala sesuatunya dengan air hangat, iapun membersihkan si bayi, mengangkatnya, lalu sang nenek dukun beranak meletakkan di atas perut Ibunya. Tampak senyum bahagia si Ibu, dengan wajah yang masih terlihat kemerahan dan dipenuhi oleh peluh dan air mata. Si nenek merapikan sekeliling tempat persalinan, lalu setelah melihat semuanya baik-baik saja diapun lantas keluar kamar sambil tersenyum memandang si bayi.

diluar rumah si nenek menyerahkan ari ari sambil berkata pada Bapak si bayi, " Masuklah ke dalam nak, sudah selesai. Bayinya selamat dan sehat, Aku melihat di wajahnya yang kecil tercermin perjalanan hidup yang keras, namun aku melihat bintang yang bersinar terang, sangat terang di akhir perjalanannya, anak ini akan membuatmu bangga...". lalu nenek itupun pulang sambil tetap menyunggingkan senyum.

Akan halnya Sang Bapak seolah tak perduli dengan ucapan si nenek, buru buru masuk ke kamar dengan setengah berlari. Rasa bahagia menutupi segalanya dan tak lagi terpikirkan olehnya cara membesarkan anak ini. Padahal sepuluh menit lalu ada rasa gundah yang tak terkira di dalam hatinya, dan benak yang berkecamuk memikirkan bagaimana memberinya makan selama empat bulan ini, apalagi cara menyiapkan segala kebutuhan dan biaya hidup anaknya ini kelak.

Si Bapak segera duduk di samping istrinya, matanya tak lepas memandang lembut keduanya.
Bayi mungil itu seolah dapat berfikir, wajahnya yang lugu menunjukkan keinginannya untuk membuat ibu yang melahirkannya tak sedih dan bapaknya tak gundah akan dirinya. Jari tangannya kecil tapi kokoh untuk ukuran bayi seusianya, kepalanya bulat bundar dipenuhi rambut yang tumbuh tebal sampai hampir terlihat seperti anak seusia lima bulan.
Lalu yang tak biasa adalah senyum yang seolah tak pernah lepas dari bibirnya yang mungil.
" Akan kunamakan dia Bima ", bisik Sang Bapak ketelinga Istrinya dengan lembut.
" Badannya terlihat kuat dan pasti gagah melebihi aku, kelak " tambahnya lagi.
" Jangan, Pak, Bima tak pernah tersenyum seperti anak kita ini" jawab istrinya pelan.
" Lagi pula anak kita kan perempuan" sahutnya lagi sambil meringis menahan tertawa.
" Oh ya, aku sampai lupa melihat anak kita laki apa perempuan, Bu, kalau begitu kamu saja yang memberi nama, aku kurang pandai memilih nama perempuan " ujar sang Bapak sambil terkekeh geli..

Sore itu matahari akhirnya benar benar tenggelam, di ujung Barat, meninggalkan rona merah yang terlihat sangat cantik memantul di atas permukaan laut.

..Bersambung...............